Minggu, 03 Juni 2012

Langkah-langkah Penelitian Sejarah Lisan

Metode sejarah lisan atau oral history merupakan metode yang digunakan
dalam mengumpulkan sumber sejarah. Penggunaan metode ini sudah lama
digunakan, Herodatus sejarawan Yunani yang pertama, telah mengembara ke
tempat-tempat yang jauh untuk mengumpulkan bahan-bahan sejarah lisan.
Thucydides sekitar 2400 tahun yang lalu telah menggunakan kisah kesaksian
langsung para prajurit yang ikut dalam perang Peloponesa untuk membangun
sejarah lisan.


Metode modern sejarah lisan berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1930-
an dengan dilakukan penelitian besar-besaran mengenai kenangan bekas para
budak hitam. Perkembangan ini membawa suatu pemikiran baru tentang sumber
sejarah lisan. Sumber yang dicari bukan hanya para tokoh atau “orang-orang
besar”, tetapi juga kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, termasuk pula
golongan buta huruf dan golongan yang tidak pernah meninggalkan bahanbahan
tertulis.


Perkembangan lain yang menyebabkan lahirnya sejarah lisan bahwa dalam
dunia modern banyak hal yang penting lolos dari pencatatan tertulis, misalnya
keputusan-keputusan atau instruksi-instruksi penting yang diberikan melalui
telepon saja sehingga tidak dapat ditemukan dalam suatu dokumen. Teknik

komunikasi yang semakin maju pada waktu sekarang memungkinkan orang
saling bertemu muka, sehingga surat menyurat semakin berkurang. Dengan
demikian, semakin banyak data yang diperlukan tidak lagi dapat diketemukan
dalam bentuk tertulis. Selain itu pula, perkembangan teknologi, dengan
ditemukannya alat perekam (phonograph) pada tahun 1877 dan perkembangan
alat perekam pada tahun 1960 dengan ditemukannya tape recorder, semakin
memudahkan untuk menyimpan data atau sumber lisan.


Di Amerika serikat oral history adalah rekaman pita (tape recording) dari
wawancara tentang peristiwa atau hal-hal yang dialami oleh si pengisah sendiri,
atau lebih tepat lagi, rekaman pita (atau kaset) dari penglaman-pengalaman
yang masih diingat oleh pengisah. Keterangan ini direkam dalam bentuk tanya
jawab melalui wawancara lisan yang telah direncanakan lebih dahulu dengan
cermat.


Ada beberapa hal atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan
penelitian sejarah lisan, yaitu:


1. Perencanaan wawancara
Menurut Lincoln dan Guba dalam Lexi J. Moleong (1996) wawancara adalah
mengkonstruksi, mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan,
motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan, merekonstruksi kebulatankebulatan
demikian sebagai yang dialami masa lalu, memproyeksikan kebulatankebulatan
sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan
datang; memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang
dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Agar kegiatan
wawancara dapat mencapai sasaran yang diinginkan, harus dilakukan kegiatan
perencanaan dengan baik meliputi perencanaan waktu wawancara, penentuan
orang yang akan di wawanara atau informan, dan menentukan materi
wawancara.


2. Pelaksanaan wawancara
Wawancara dalam sejarah lisan bukanlah suatu dialog melainkan menggali
pengalaman dari orang yang sedang diwawancarai. Komentar dari pewancara
hanya terbatas pada pertanyaan-pertanyaan singkat untuk mengarahkan
kisahnya. Wawancara tidak dimaksudkan untuk memperlihatkan kepintaran
pewancara. Yang penting ialah keterangan atau pengalaman yang dikisahkan,
jadi semakin kurang suara pewancara didengar dalam rekaman, semakin baik
mutu dari wawancara sejarah lisan.



3. Orang yang diwawancarai
Agar wawancara itu berjalan dengan lancar sebaiknya sebelum wawancara
itu dilaksanakan sebaiknya kita mempelajari latar belakang dari orang tersebut.
Selain itu seorang pewancara harus menguasai materi yang akan ditanyakan.

Untuk mennguasai materi yang akan ditanyakan, sebaiknya pewancara terlebih
dahulu membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan materi pembicaraan.
Kedua sebelum kita melakukan wawancara langsung sebaiknya orang yang
akan kita wawancarai dihubungi terlebih dahulu dan mengadakan perjanjian
kapan wawancara itu dilakukan. Kedua menetapkan pertanyaan-pertanyaan
yang akan kita tanyakan. Sebaiknya kita membuat daftar pertanyaan dan
pertanyaan yang kita ajukan bukan pertanyaan yang jawabannya menghendaki
jawaban berupa “ya” atau “tidak”. Langkah ketiga adalah menyiapkan alat
perekam atau tape recorder. Kita harus terampil menggunakan alat perekam,
jangan sampai pada saat wawancara dilakukan tape recorder tidak berfungsi.
Kita harus menyiapkan berapa kaset yang kita butuhkan. Jumlah kaset yang
kita butuhkan tergantung pada lamanya waktu yang kita lakukan pada saat
wawancara. Informan atau orang pemberi informasi sebaiknya haruslah orang
yang mengetahui atau mengalami langsung peristiwa atau kejadian yang akan
kita teliti atau orang pertama. Pencarian informasi dari orang pertama ini
diharapkan dapat memperoleh sumber yang lebih akurat. Orang yang kita
wawancarai bisa individu maupun kelompok, sedangkan kelompok sosial
informan tergantung pada tema penelitian. Kita dapat mewancarai tokoh, pejabat
atau rakyat biasa. Misalnya, kalau kita ingin membuat biografi seorang tokoh,
maka kita akan mewancarai tokoh tersebut yang kita wawancarai. Kalau kita
menulis suatu peristiwa, misalnya suatu gejolak atau konflik pada suatu daerah,
maka kita dapat mewancari satu kelompok masyarakat yang terlibat langsung
terhadap peristiwa tersebut, bahkan orang-orang biasa atau khalayak yang
terlibat dapat kita wawancarai.


4. Materi wawancara
Materi yang akan kita tanyakan kepada informan tergantung pada masalah
yang akan kita bahas dari tema penelitian. Agar materi atau informasi yang
kita butuhkan sesuai dengan tema penelitian kita, maka kita harus mencari
informan adalah orang yang memang berhubungan langsung dengan tema
penelitian. Misalnya, kita akan menulis sejarah dengan tema perlawanan rakyat
Indonesia pada masa pendudukan Jepang, maka kita harus merumuskan dahulu
apa yang dimaksud perlawanan dalam penelitian itu. Faktor-faktor apakah
yang memengaruhi terjadinya perlawanan, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar