Jumat, 01 Juni 2012

Sejarah Sosial

Sejarah sosial adalah sejarah tentang masyarakat. Menurut pendapat sejarawan
Belanda, P.J Blok, bahwa sejarah sosial ialah the history of the people. Ia
mengkaji mengenai pola-pola kebudayaan masyarakat manusia, terutama yang
memperlihatkan aspek-aspek sosial di dalamnya. Antara aspek-aspek yang
termasuk dalam bidang ini meliputi kebudayaan, kesenian, kesusastraan, agama,
ekonomi, pendidikan, perundangan, pemikiran, keluarga, perempuan, etnik, dan

sebagainya. Masyarakat dilihat sebagai suatu keseluruhan, sebagai bentukan
sosial atau sebagai struktur dan proses. Bagaimanakah suatu struktur
masyarakat berubah dalam suatu kurun waktu tertentu, merupakan kajian
sejarah sosial. Berbagai aspek kehidupan bisa dilihat sebagai bagian dari
kenyataan sosial hidup manusia.


Nana Supriatna (1997), mengemukakan bahwa sejarah sosial merupakan
sejarah yang mengkaji masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kelaparan,
kebodohan, keterbelakangan dan kemerosotan moral. Masalah-masalah yang
berhubungan dengan kepincangan-kepincangan dalam pengadaan pangan,
sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan menjadi fokus kajian sejarah
sosial. Demikian juga dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan
perubahan sosial, perubahan tata nilai, agama dan tradisi kebudayaan yang
juga ikut berpengaruh terhadap timbulnya masalah sosial.



Dengan demikian sejarah sosial merupakan suatu kajian sejarah tidak hanya
menyoroti masalah pertentangan atau gerakan sosial, melainkan berbagai
fenomena yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Kelahiran sejarah sosial
pada mulanya merupakan respon terhadap penulisan sejarah yang lebih
menekankan pada pendekatan politik. Maksud dari pendekatan ini adalah
sejarah yang hanya menampilkan “orang-orang” besar, misalnya para raja,
penguasa, negara, kerajaan, dan lain-lain. Pendekatan yang bersifat politik
memberikan kesan bahwa “orang-orang besarlah” yang berperan dalam
sejarah. “Orang-orang kecil” dianggap kurang penting dalam sejarah.


Sartono Kartodirdjo (1993) memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
tipologi gerakan sosial, yaitu:


1. Gerakan Millenarianisme merupakan gerakan petani yang mengharapkan
kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Mereka yakin
bahwa gerakannya akan berhasil, maka akan tercipta perdamaian dan
kebahagiaan yang sempurna bahwa akan tercipta negara yang maju adil
dan makmur yang berada di bawah kepemimpinan yang adil dan jujur
percaya ramalan Jayabaya yang kelak akan tercipta negara yang aman
dan makmur di bawah seorang ratu adil yang akan membebaskan para
petani dari segala penderitaan yang dialami sekarang.


2. Gerakan mesianisme merupakan gerakan petani yang memperjuangkan
datangnya seorang juru selamat, ratu adil yang akan menegakkan keadilan
dan perdamaian dalam sebuah negara yang makmur dipengaruhi oleh mitos
Jawa tentang munculnya ratu adil yang merupakan raja kebenaran, yang
akan membebaskan rakyat dari segala penyakit, kelaparan dan setiap jenis
kejahatan yang percaya kedatangan raja yang adil ini ditandai dengan
bencana alam, menurunnya martabat, kemelaratan, dan penderitaan.



3. Gerakan nativisme merupakan gerakan petani yang menginginkan
bangkitnya kejayaan masa lampau yang dipimpin oleh raja yang adil dan
memperhatikan kesejahteraan rakyat. Gerakan ini lebih kepribumian
dengan menginginkan tampilnya seorang pribumi sebagai penguasa yang
adil seperti terjadi pada masa sebelum datangnya penjajah.


4. Gerakan fisabilillah/perang jihad dimana unsur Islam menjadi dasar bagi
gerakan radikalisme agraria. Motivasi untuk menciptakan kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya yang berdasarkan ajaran agama Islam serta mengusir
penjajah asing yang kafir. Gerakan ini sangat radikal karena selalu
mengantagoniskan lawan sebagai musuh yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Gerakan ini yakin bahwa apabila mereka mati dalam perlawanan
terhadap penguasa kafir maka kelak mereka akan mati syahid dan masuk
syurga.


Michael Adas (1988) mengemukakan bahwa terjadinya gerakan sosial itu
disebabkan oleh:


1. Adanya ketidakpuasan yang timbul dari pengalaman pribadi dan dendam
partisipan yang dihasilkan oleh kondisi kehidupan mereka sehari-hari
(dianalisis dengan teori deprivasi relatif) yaitu adanya persepsi atas
penyimpangan antara harapan dan kapasitas ini menimbulkan deprivasi
perasaan (sense of deprivation) yang secara relatif dan kolektif telah
dialami yang membandingkan status dan kemampuan mereka satu sama
lain terhadap orang-orang yang ada pada zaman sebelumnya sehingga
tercipta standar baru yang menyebabkan tekanan dan keputusasaan yang
berat dan merata sehingga timbul gerakan protes kolektif yang
direncanakan untuk memperbaiki ketegangan dengan menutup kesenjangan
antara pengharapan partisipan dan kapasitas mereka. Tuntutan ekonomi
sebagai pusat dalam satu kasus, tetapi ancaman terhadap kepercayaan
keagamaan/status sosial pun penting.


2. Adanya birokrasi kolonial dan pergantian di kalangan elit yaitu masalah
keabsahan sebagai dampak administrasi kolonial yang meluas jauh di luar
pengaruh yang paling nyata terhadap para pemimpin pribumi pada tingkat
yang berbeda-beda.


3. Adanya Pergantian kekuasaan, legitiminasi dan deprivasi relatif yaitu
munculnya perasaan terdeprevisasi secara cepat dirasakan oleh kelompokkelompok
elit yang digantikan kekuasaan atau dipilih kembali sekadar
sebagai pelengkap bagi agen kolonial yang menggantikan dan merampas
kekuasaan mereka.


4. Adanya paksaan bagi koloni untuk membayar tanah, buruh dan pajak yang
disebabkan karena pembentukan sistem administratif dan hukum kolonial
yang merupakan respon dari kebutuhan kapitalisme Laissez-Faire sangat
penting bagi tujuan memaksa koloni untuk membayar salah satunya dengan
tanam paksa.


5. Adanya pemerasan, pertikaian etnik dan deprivasi relatif. Gerakan
revolusioner yang disebabkan karena terjadinya penindasan yang kejam
dan kemiskinan yang menghimpit tidak selalu menggerakkan orang untuk
memberontak karena potensi protes sosial dengan kekerasan lebih
berhubungan dengan defrivasi relatif daripada absolut. Penguasa kolonial
Eropa, melalui pengunaan kekuasaan militer dan teknologi komunikasi yang
lebih unggul dapat meningkatkan berbagai tuntutan yang dibebankan
kepada rakyat petani dalam bentuk jasa buruh dan sejumlah produk. Di
bawah pemerintahan kolonial kerangka pemikiran ekonomi yang
berorientasi swasembada dipertahankan dan orang Eropa selalu bertindak
secara tidak langsung melalui perantara orang pribumi non-Eropa dan
imigran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar