Sabtu, 24 Maret 2012

Peristiwa-Peristiwa Politik Penting Pada Masa Orde Baru

Orde Baru. Mungkin kita sering mendengar kata itu, tetapi dibalik dua kata itu ada banyak sekali peristiwa yang terdapat di dalamnya. Berikut ini adalah peristiwa-peristawa yang terjadi pada masa orde baru.

1. Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)
Aksi yang dilakukan oleh Gerakan 30 September segera diketahui oleh
masyarakat bahwa PKI terlibat di dalamnya. Oleh karena itu berbagai elemen
masyarakat melakukan demonstrasi-demonstrasi menuntut kepada pemerintah
untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Akan tetapi pemerintah tidak
segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang telah melakukan
pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Apalagi kondisi ekonomi yang
memburuk, harga-harga membumbung tinggi sehingga menambah penderitaan
rakyat. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya kesatuan-kesatuan aksi.
Pada tanggal 25 Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan- kesatuan aksi yang lain, misalnya
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia
(KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia
(KAGI).
Ketika gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin keras
pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari
1966 KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam
Front Pancasila mendatangi DPR- GR menuntut Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat
yang terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun Tri Tuntutan Rakyat itu
adalah sebagai berikut.
a. Pembubaran PKI.
b. Pembersihan kabinet dari unsurunsur
G 30 S / PKI.
c. Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Ketiga tuntutan di atas menginginkan
perubahan di bidang politik, yakni
pembubaran PKI beserta ormasormasnya
dan pembersihan kabinet dari
unsur G30 S /PKI. Selain itu juga
keinginan adanya perubahan ekonomi
yakni penurunan harga.

2. Surat Perintah Sebelas Maret
Aksi untuk menentang terhadap G 30 S /PKI semakin meluas menyebabkan
pemerintah merasa tertekan. Oleh karena itu setelah melakukan pembicaraan dengan
beberapa anggota kabinet dan perwira ABRI di istana Bogor pada tanggal 11 Maret
1966, Presiden Sukarno akhirnya menyetujui memberikan perintah kepada Letnan
Jenderal Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk
memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Surat mandat ini terkenal dengan
nama Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar).

3. Sidang Umum MPRS
Sidang Umum IV MPRS yang
diselenggarakan pada tanggal 17 Juni 1966
telah menghasilkan beberapa ketetapan
yang dapat memperkokoh tegaknya Orde
Baru antara lain sebagai berikut.
1) Ketetapan MPRS No. IX tentang
Pengukuhan Surat Perintah Sebelas
Maret.
2) Ketetapan MPRS No. XXV tentang
Pembubaran PKI dan ormasormasnya
serta larangan penyebaran
ajaran Marxisme- Komunisme di
Indonesia.
3) Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi,
Keuangan, dan Pembangunan.
4) Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang
ditugaskan kepada Pengemban Tap MPRS No. IX.
4. Nawaksara
MPRS meminta pertanggungjawaban
terhadap Presiden Sukarno
dalam Sidang Umum MPRS 1966 atas
terjadinya pemberontakan G30 S/ PKI,
kemerosotan ekonomi dan moral. Untuk
memenuhi permintaan MPRS tersebut
maka Presiden Sukarno menyampaikan
amanatnya pada tanggal 22 Juni 1966
yang berjudul Nawaksara (sembilan
pasal). Amanat tersebut oleh MPRS
dipandang tidak memenuhi harapan
rakyat karena tidak memuat secara jelas
kebijaksanaan Presiden/Mandataris
MPRS mengenai peristiwa G 30 S /PKI
serta kemerosotan ekonomi dan moral.
Oleh karena itu MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi Nawaksara
tersebut.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno memberikan pelengkap
Nawaksara. Akan tetapi isinya juga tidak memuaskan banyak pihak. Oleh karena
itu DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 menolak
Nawaksara berikut pelengkapnya. Selanjutnya DPR- GR mengusulkan kepada MPRS
agar mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari
jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan mengangkat Pejabat Presiden.
Pada tanggal 22 Februari 1967
Presiden Soekarno menyerahkan
kekuasaan kepada pengemban Ketetapan
MPRS No. IX, Jenderal Soeharto.
Peristiwa penyerahan kekuasaan yang
dilakukan atas prakarsa Presiden
Soekarno ini merupakan peristiwa
penting dalam upaya mengatasi situasi
konflik pada waktu itu. Penyerahan
kekuasaan ini ternyata mendapat
tanggapan yang positif dari masyarakat
umum dan ABRI.

5. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Indonesia pada masa yang condong kepada salah satu blok
pada masa Demokrasi Terpimpin merupakan pengalaman pahit bagi bangsa
Indonesia. Oleh karena itu Orde Baru bertekad untuk untuk mengoreksi bentukbentuk
penyelewengan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Lama. Politik
luar negeri yang memihak kepada salah satu blok dinyatakan salah oleh MPRS
(kemudian MPR). Indonesia harus kembali ke politik luar negeri yang bebas dan
aktif serta tidak memencilkan diri.
Sebagai landasan kebijakan politik luar negeri Orde Baru telah ditetapkan dalam
Tap No. XII/ MPRS / 1966. Menurut rumusan yang telah ditetapkan MPRS, maka
jelaslah bahwa politik luar negeri RI secara keseluruhan mengabdikan diri kepada
kepentingan nasional. Sesuai dengan kepentingan nasional, maka politik luar negeri
RI yang bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak kepada salah satu blok ideologi
yang ada. Namun bukanlah politik yang netral, tetapi suatu politik luar negeri yang
tidak mengikat diri pada salah satu blok ataupun pakta militer.
Sebagai wujud dari pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif pada masa
Orde Baru melakukan langkah- langkah sebagai berikut.
(1) Menghentikan politik konfrontasi
dengan Malaysia setelah ditandatanganinya
persetujuan untuk
menormalisasi hubungan bilateral
Indonesia-Malaysia pada tanggal
11 Agustus 1966. Selanjutnya sejak
31 Agustus 1967 kedua pemerintah
telah membuka hubungan diplomatik
pada tingkat Kedutaan Besar.
(2) Indonesia kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tanggal 28 September 1966
setelah meniggalkan PBB sejak
1 Januari 1965. Sebab selama
menjadi anggota badan dunia, yakni
sejak 1950-1964, Indonesia telah
menarik banyak manfaatnya.
(3) Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya sebuah organisasi kerja sama regional
di kawasan Asia Tenggara yang disebut Association of South East Asian
Nations (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967.

6. Pemilihan Umum
Pemilihan Umum pada masa Orde Baru pertama kali dilaksanakan pada tanggal
3 Juli 1971. Pemilu pada waktu itu berbeda dengan pemilu tahun 1955 karena telah
menggunakan sistem distrik bukan sistem proporsional. Dalam sistim distrik ini
partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk sesuatu
daerah. Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan dengan
suatu partai itu yang terkumpul di daerah lain.
Pemilu tahun 1977 diikuti oleh 10
kontestan, yakni PKRI, NU, Parmusi,
Parkindo, Murba, PNI, Perti, IPKI, dan
Golkar. Dalam pemilu kali ini dimenangkan
oleh Golkar.
Pemilu berikutnya dilaksanakan
pada tanggal 2 Mei 1977 yang kali ini
diikuti oleh 3 organisasi peserta pemilu,
yakni Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Golongan Karya (Golkar), dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Selanjutnya pemilu-pemilu di
Indonesia selama Orde Baru selalu
dimenangkan oleh Golongan Karya.

7. Sidang MPR Tahun 1973
Dengan Pemilu I 1971, maka untuk pertama kali RI mempunyai MPR tetap,
yakni bukan MPRS. Pimpinan MPR dan DPR hasil Pemilu I adalah Idham Chalid.
Selanjutnya MPR ini mengadakan sidang pada bulan Maret 1973 yang menghasilkan
beberapa keputusan di antaranya sebagai berikut.
1) Tap IV /MPR /73 tentang Garis- garid Besar Haluan Negara sebagai pengganti
Manipol.
2) Tap IX /MPR /73 tentang pemilihan Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI.
3) Tap XI /MPR /73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai
Wakil Presiden RI.
Dengan demikian RI telah memiliki Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan
amanat UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar