Senin, 12 Maret 2012

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Peristiwa di Surabaya itu merupakan rangkaian peristiwa yang dimulai
sejak kedatangan pasukan Sekutu dengan bendera AFNEI di Jawa Timur.
Khusus untuk Surabaya, Sekutu menempatkan Brigade 49, yaitu bagian dari
divisi ke-23 Sekutu. Brigade 49 dipimpin Brigjen A.W.S. Mallaby yang mendarat
25 Oktober 1945.
Pada mulanya pemerintah Jawa Timur enggan menerima kedatangan
Sekutu. Kemudian dibuat kesepakatan antara Gubernur Jawa Timur R.M.T.A.
Suryo dengan Brigjen A.W.S. Mallaby. Kesepakatan itu adalah sebagai berikut.

a. Inggris berjanji tidak mengikutsertakan angkatan perang Belanda
b. menjalin kerja sama kedua pihak untuk menciptakan kemanan dan
ketentraman
c. akan dibentuk kontrak biro
d. Inggris akan melucuti senjata Jepang
Dengan kesepakatan itu, Inggris diperkenankan memasuki kota Surabaya.
Ternyata pihak Inggris
ingkar janji. Itu terlihat dari
penyerbuan penjara
Kalisosok 26 Oktober
1945. Inggris menduduki
pangkalan udara Tanjung
Perak tanggal 27 Oktober
1945, serta menyebarkan
pamflet yang berisi
perintah agar rakyat
Surabaya dan Jawa Timur
menyerahkan senjatasenjata
mereka.
Kontrak senjata antar Sekutu dan rakyat Surabaya sudah terjadi sejak 27
Oktober 1945. Karena terjadi kontak senjata yang dikhawatirkan meluas, Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta mengadakan perundingan. Kedua belah
pihak merumuskan hasil perundingan sebagai berikut.
1. Surat-surat selebaran/pamflet dianggap tidak berlaku
2. Serikat mengakui keberadaan TKR dan Polisi Indonesia
3. Seluruh kota Surabaya tidak lagi dijaga oleh Serikat, sedangkan kampkamp
tawanan dijaga bersama-sama Serikat dan TKR
4. Tanjung Perak dijaga bersama TKR, Serikat, dan Polisi Indonesia
Walaupun sudah terjadi perundingan, akan tetapi di berbagai tempat di kota
Surabaya tetap terjadi bentrok senjata antara Serikat dan rakyat Surabaya yang
bersenjata. Pertempuran seru terjadi di Gedung Bank Internatio di Jembatan
Merah. Gedung itu dikepung oleh para pemuda yang menuntut agar pasukan
A.W.S. Mallaby menyerah. Tuntutan para pemuda itu ditolak pasukan Serikat.
Karena begitu gencarnya pertempuran di sana, akibatnya terjadi kejadian fatal,
yaitu meninggalnya A.W.S. Mallany tertusuk bayonet dan bambu runcing.
Peristiwa ini terjadi tanggal 30 Oktober 1945.
Dengan meninggalnya A.W.S. Mallaby, pihak Inggris memperingatkan rakyat
Surabaya dan meminta pertanggungjawaban. Mereka mengancam agar rakyat
Surabaya menyerah dan akan dihancurkan apabila tidak mengindahkan seruan
itu. Ultimatum Inggris bermakna ancaman balas dendam atas pembunuhan
A.W.S. Mallaby disertai perintah melapor ke tempat-tempat yang ditentukan.
Disamping itu, pemuda bersenjata harus menyerahkan senjatanya. Ultimatum
Inggris itu secara resmi ditolak rakyat Surabaya melalui pernyataan Gubernur

Soerjo.
Karena penolakan itu, pertempuran tidak terhindarkan lagi, maka pecahlah
pertempuran pada tanggal 10 November 1945. Sekutu mengerahkan pasukan
infantri dengan senjata-senjata berat. Peristiwa heroik ini berlangsung hampir
tiga minggu. Dalam pertempuran tersebut, melalui siaran radio, Bung Tomo
membakar semangat arek-arek
Suroboyo. Pertempuran yang
memakan korban banyak dari
pihak bangsa Indonesia ini
diperingati sebagai Hari
Pahlawan setiap tanggal 10
November. Peringatan itu
merupakan komitmen bangsa
Indonesia yang berupa
penghargaan terhadap
kepahlawanan rakyat
Surabaya sekaligus
mencerminkan tekad
perjuangan seluruh bangsa
Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar