Sabtu, 24 Maret 2012

Pemberontakan G 30 S/PKI


Kali ini Gamapenta akan membahas tentang salah satu peristiwa yang sangat terkenal didalam
Sejarah bangsa Indonesia, yaitu “Pemberontakan G 30 S/PKI”

Tantangan yang dihadapi NKRI ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dan
munculnya krisis ekonomi nasional merupakan peluang paham komunis untuk
berkembang. Prinsip Nasakom yang dilaksanakan pada waktu itu memberi
keempatan kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas
pengaruhnya. Melihat kondisi ekonomi yang memprihatinkan serta kondisi sosial
politik yang penuh dengan gejolak pada awal tahun 1960-an maka PKI berusaha
menyusun kekuatan dan melakukan pemberontakan.
Sebelum melakukan pemberontakan, PKI melakukan berbagai cara agar
mendapat dukungan yang luas di antaranya sebagai berikut.

(1) PKI menyatakan dirinya sebagai pejuang perbaikan nasib rakyat serta berjanji
akan menaikkan gaji dan upah buruh, pembagian tanah dengan adil, dan
sebagainya.

(2) Pada akhir tahun 1963 PKI melakukan “Aksi Sepihak” terutama di Jawa, Bali,
dan Sumatera Utara.

(3) PKI juga mencari pendukung dari berbagai kalangan mulai dari para petani,
buruh kecil, pegawai rendahan baik sipil maupun militer, seniman, wartawan,
guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.

(4) Pengaruh PKI yang besar dalam bidang politik sehingga memengaruhi terhadap
kebijakan pemerintah. Misalnya, semua organisasi yang anti komunis dituduh
sebagai anti pemerintah. Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebagai organisasi
para seniman dibubarkan pemerintah pada bulan Mei 1964. Kebijakan politik
luar negeri RI pada waktu itu lebih condong ke Blok Timur yakni dengan
terbentuknya Poros Jakarta-Peking.

(5) Memasuki tahun 1965 PKI melempar desas-desus adanya “Dewan Jenderal”
dari dalam tubuh Angkatan Darat. Menurut PKI bahwa Dewan Jenderal ini
akan mengambil alih kekuasaan secara paksa dengan bantuan Amerika Serikat.
Tuduhan ini dibantah oleh Angkatan Darat, sebaliknya PKI yang akan
melakukan perebutan kekuasaan.
Puncak ketegangan politik terjadi secara nasional pada dini hari tanggal
30 September 1965 atau awal tanggal 1 Oktober 1965, yakni terjadinya penculikan
dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat. Penculikan ini dilakukan
oleh sekelompok militer yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September.
Aksi ini di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon I
Cakrabirawa. Para pimpinan TNI AD yang diculik dan dibunuh oleh kelompok
G 30 S/ PKI tersebut adalah sebagai berikut.
a. Letnan Jenderal Ahmad Yani.
b. Mayor Jenderal R. Suprapto.
c. Mayor Jenderal Haryono MT.
d. Mayor Jenderal S. Parman.
e. Brigadir Jenderal DI. Panjaitan.
f. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
g. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.

Dalam peristiwa tersebut Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai
Menteri Kompartemen Hankam/ Kepala Staf Angkatan Darat berhasil meloloskan
diri dari pembunuhan akan tetapi putri beliau, Irma Suryani Nasution tewas akibat
tembakan para penculik. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal
Nasution juga tewas dalam peristiwa tersebut. Selain itu Brigadir Polisi Karel Satsuit
Tubun, pengawal rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena juga menjadi korban
keganasan PKI.

Peristiwa pembunuhan oleh G 30 S/ PKI yang terjadi di Yogyakarta
mengakibatkan gugurnya dua orang perwira TNI AD yakni Kolonel Katamso
Dharmokusumo dan Letnan Kolonel Sugiyono.
Pada hari Jum’at pagi tanggal 1 Oktober 1965 “Gerakan 30 September “ telah
menguasai dua buah sarana komunikasi vital, yakni studio RRI Pusat di Jalan Merdeka
Barat, Jakarta dan Kantor PN Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI
pagi itu pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 disiarkan pengumuman tentang
Gerakan 30 September. Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada
jenderal- jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta terhadap
pemerintah. Dengan pengumuman ini maka masyarakat menjadi bingung.
Menghadapi situasi politik yang panas tersebut Presiden Sukarno berangkat
menuju Halim Perdanakusumah, dan segera mengeluarkan perintah agar seluruh
rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa. Mayor Jenderal Suharto selaku Panglima Komando
Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil alih komando Angkatan Darat,
karena belum adanya kepastian mengenai Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat
Menteri Panglima Angakatan Darat.
Dengan menghimpun pasukan lain termasuk Divisi
Siliwangi, dan Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi Wibowo,
panglima Kostrad mulai memimpin operasi penumpasan
terhadap Gerakan 30 September. Tindakan-tindakan yang
dilakukan dalam operasi ini sebagai berikut.

(1) Pada tanggal 1 Oktober 1965 operasi untuk merebut
kembali RRI dan Kantor Telkomunikasi sekitar pukul
19.00. Dalam sekitar waktu 20 menit operasi ini berhasil
tanpa hambatan. Selanjutnya Mayor Jenderal Soeharto
selaku pimpinan sementara Angkatan Darat
mengumumkan lewat RRI yang isinya sebagai berikut.

(a) Adanya usaha usaha perebutan kekuasaan oleh
yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.

(b) Telah diculiknya enam tinggi Angkatan Darat.

(c ) Presiden dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat.

(d) Kepada rakyat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.

(2) Menjelang sore hari pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 06.10 operasi yang
dilakukan oleh RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo
dan Batalyon 328 Para Kujang. Operasi ini berhasil menguasai beberapa
tempat penting dapat mengambil alih beberapa daerah termasuk daerah
sekitar bandar udara Halim Perdanakusumah yang menjadi pusat kegiatan
Gerakan 30 September.

(3) Dalam operasi pembersihan di kampung Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober
1965, atas petunjuk seorang anggota polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman
diketemukan sebuah sumur tua tempat jenazah para perwira Angkatan Darat
dikuburkan. Mereka yang menjadi korban kebiadaban PKI tersebut mendapat
penghargaan sebagai pahlawan revolusi.
Ketika gerakan 30 September ini
menyadari tidak adanya dukungan dari
masyarakat maupun anggota angkatan
bersenjata lainnya, para pemimpin dan
tokoh pendukung Gerakan 30 September
termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit
segera melarikan diri. Dengan demikian
masyarakat semakin mengetahui bahwa
Gerakan 30 September yang sebenarnya
melakukan pengkhianatan terhadap
negara ini.

Sekian info sejarah dari Gamapenta untuk kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar