Jumat, 13 Januari 2012

Situs Gunung Padang

Balok-balok batu berserakan di mana-mana, berpusat di gunung yang berusia sangat tua sekali. Tidak hanya di sana tetapi juga di pesawahan, di sekitar rumah-rumah penduduk, bahkan diperkirakan masih tak terhitung jumlahnya tertanam di bawah bukit dan tanahnya yang amat subur. Lokasi situs ini berada di ketinggian 885 m dpl, di Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Situs Gunung Padang adalah peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara dengan luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m² dan areal situsnya sekitar 3 Ha. Bangunan punden berundaknya berbahan bebatuan vulkanik alami dengan ukuran yang berbeda-beda, unik sekaligus melayangkan dalam benak Anda, sisa apa ini sebenarnya?
Tepat di puncak guungnya, bebatuan tersebut berserakan dengan denah mengkerucut dalam 5 teras. Diperkirakan batunya berusia 4000-9000 SM (Sebelum Masehi). Situs megalitik ini sendiri berasal dari periode 2500-4000 SM. Ini berarti bangunannya telah ada sekitar 2.800 tahun sebelum dibangunnya Candi Borobudur. Bahkan, usia situs megalitik ini lebih tua dari Machu Picchu di Peru. Situs megalitik Situs Gunung Padang diperkirakan sezaman dengan bangunan pertama Piramida di Mesir.
Kata “padang’” dalam bahasa Sunda berarti caang atau terang benderang. Ada juga pengertian lain dari istilah “padang”, yaitu: pa (tempat), da (besar; agung), dan hyang (eyang; moyang; leluhur), dari ketiga kata tersebut kemudian kata ‘padang’ dimaknakan sebagai tempat agung para leluhur.
Situs Gunung Padang merupakan peninggalan zaman batu besar yang tak ternilai harganya. Bentuknya berupa tiang-tiang dengan panjang rata-rata sekitar 1 meter dan berdiameter rata-rata 20 cm, berjenis  andesitbasaltik, dan basal. Geometri ujung batu dan pahatan ribuan batu besar dibuat sedemikian rupanya teratur berbentuk pentagonal (lima sudut). Angka 5 juga seakan memberikan identitas pemujaan bilangan ‘5’ oleh masyarakat Sunda dahulu kala. Hal ini membedakannya dengan Babylonia yang menganggap sakral angka 11 atau Romawi Kuno dengan angka 7.  Simbol ‘5’ tersebut mirip dengan tangga nada musik Sunda pentatonis, yaitu: da mi na ti na. Oleh karena itulah, selain kompleks peribadatan purba, banyak juga menyebut Situs Gunung Padang sebagai teater musikal purba.
Batu-batu andesit Situs Gunung Padang tersebut hanya dapat ditemui di sekitar Gunung Padang. Begitu menyeberangi Kali Cikuta dan Kali Cipanggulaan, tidak ada lagi batu-batu besi seperti itu. Masyarakat setempat percaya bahwa batuan andesit itu terlebih dahulu diukir di satu tempat yang kini disebut Kampung Ukir dan dicuci di satu empang yang disebut Kampung Empang. Hingga kini terhampar berserakan sisa-sisa ukiran batu purba tersebut. Kampung Ukir dan Kampung Empang berada sekitar 500 meter arah tenggara Situs Megalitik Gunung Padang.
Sketsa Situs Megalitik Gunung Padang berdasarkan tinjauan arsitektur
(Pon S Purajatnika)
Situs Gunung Padang pertama kali tahun 1914 yang termuat dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD) atau Buletin Dinas Kepurbakalaan pemerintah Hindia Belanda. Seorang sejarawan Belanda ternama yaitu N. J. Krom sempat menguraikannya tetapi belum banyak keterangan lebih lanjut mengenai informasi keberadaannya.
Kajian arkeologi, sejarah, dan geologi kemudian dilakukan Puslit Arkenas sejak 1979. Tidak ditemukannya artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu menyulitkan penentuan umur situs ini. Hal itu karena mayoritas artefak megalitik di Indonesia dan Asia Tenggara ditemukan pada masa kebudayaan Dongson (500 SM).
Para arkeologi sepakat bahwa Situs Gunung Padang bukan merupakan sebuah kuburan seperti dinyatakan oleh Krom (1914) tetapi merupakan sebuah tempat pemujaan masyarakat Sunda Kuna. Selain itu, situs ini juga dibangun dengan posisi memperhatikan pertimbangan geomantik dan astromantik.
Situs Gunung Padang secara astronomis ternyata berharmoni dalam naungan bintang-bintang di langit. Analisis dengan planetarium yang dilacak hingga ke tahun 100 M menunjukkan bahwa posisi Situs Gunung Padang pada masa prasejarah menunjukan berada tepat di bawah langit yang lintasannya padat bintang berupa jalur Galaksi Bima Sakti.
Sementara itu, bagi masyarakat setempat, mereka meyakini bahwa reruntuhan bebatuan ini berkaitan dengan upaya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang ingin membangun istana dalam semalam. Bersama pasukan dan masyarakatnya mengumpulkan balok-balok batu alami dari sekitar Gunung Padang. Akan tetapi, sayang upaya tersebut gagal karena fajar telah menggagalkannya sehingga bebatuan vulkanik masif yang berbentuk persegi panjang itu dibiarkan berserakan di atas bukit. Asumsi tersebut diyakini karena peninggalan prasejarah ini berupa bebatuan yang sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia atau belum dibentuk oleh tangan manusia. Bebatuan ini jumlahya sangat banyak dan tersebar hampir menutupi bagian puncak Gunung Padang. Penduduk menamakan 5 teras di gunung ini dengan nama-nama bernuansa Islam, yaitu: Meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog (tempat duduk) Eyang Swasana, Sandaran Batu Syeh Suhaedin (Syeh Abdul Rusman), Tangga Eyang Syeh Marzuki, dan Batu Syeh Abdul Fukor.
Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan yang telah berlangsung sejak 2.000 lalu.
Sumber: http://www.indonesia.travel/id/destination/703/situs-gunung-padang-di-cianjur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar